Translate

Kamis, 16 Mei 2013

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM DAN KEISTIMEWAANNYA PERKEMBANGAN DAN ELEMEN PENDUKUNG



Sebagai peta kehidupan manusia, konsep ekonomi islam sudah ada semenjak kehadiran agama islam di atas bumi ini. Al-qur’an dan hadits kaya akan hukum-hukum dan pengafahan kebijakan ekonomi yang harus diambil dan disesuaikan dengan perubahan zaman serta perbedaan kawasan regional.

Dalam konsep ekonomi islam, harus dibedakan antara konsep dasar dengan hukum-hukum terperinci dan proses aplikasi hukum tersebut dalam konteks kehidupan ekonomi masyarakat. Konsep dasar yang ditawarkan Al-qur’an dan Hadits merupakan wacana global tentang kehidupan ekonomi yang berfungsi sebagai kerangka atas kebijakan dan langkah yang ingin direalisasikan. Sebuah konsep yang mengatur gerak langkah pelaku ekonomi dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, larangan Allah terhadap transaksi ribawi merupakan konsep dasar dan objektif yang harus diaplikasikan dalam setiap perubahan waktu dan kegiatan ekonomi. “…..Dan akun halalkan jual beli dan Aku haramkan riba…” (QS. Al-Baqarah:275). Adapun hukum, metode, mekanisme, dan alat ekonomi untuk merealisasikan konsep dasar pelarangan riba tiddak dituliskan dalam kitab ini. Dengan alasan, banyaknya perbedaan hasil ijtihad para ulama dalam proses aplikasi konsep tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat tanpa harus keluar dari bingkai syari’ah.

Ketika islam datang, kegiatan ekonomi yang sedang berjalan tidaklah sekompleks seperti dewasa ini. Kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat terfokus pada sector perdagangan, peternakan, dan pertanian. Konsekuensinya hukum dan pemikiran ekonomi yang ada hanya mengakomodasi current transaction, seperti konsep pertukaran barang, penentuan harga, konsep riba, mudharabah, konsep zakat, ataupun konsep partnership. Pada masa-masa tersebut, masyarakat belum membutuhkan sebuah buku yang independen sebagai fungsi bahan rujukan yang referensi untuk menghadirkan solusi atas problematika kegiatan ekonomi yang ada. Hal terrsebut terjadi disebabkan problematika ekonomi yang ada masih sangat sederhana dan belum menjadi kompleks. Selain itu, masyarakat masih sangat dekat dengan kehidupan para sahabat yang mempunyai kapabilitas atas pengetahuan terhadap konsep ajaran islam.

Seiring dengan ekspansi dakwah islam, kawasan regional yang berada dibawah kekuasaan islam menjadi semakin luas. Fenomena tersebut tentu akan memicu perubahan terhadap ekonomi masyarakat. Kegiatan ekonomi yang ada mengalami perkembangan atas jenis dan bentuk transaksi yang dilakukan. Sehingga kegiatan yang ada semakin kompleks. Kompleksitas kegiatan ekonomi yang ada diindikasikan dengan berdirinya lembaga –lembaga perekonomian serta mekanisme produksi dalam menghasilkan barang dan jasa yang sangat beragam. Fenomina tersebut menuntut para intelektual muslim untuk menulis bukutentang batasan dan aturan serta legalitas kegiatan ekonomi berdasarkan nilai dan prinsip syari’ah. Pada abad ke-2 Hijriah, keinginan tersebut direalisasikan oleh para intelektual muslim dengan mengkodifikasikan beberapa persoalan ekonomi dalamm kitab fiqih, ushul fiqh, tafsir, hadits, sejarah filsafat, dan ilmu pengetahhuan lainnya.

Pada pertengahan abad ke-15 upaya pengembangan dan elaborasi pemikiran ekonomi berdasarkan nilai dan prinsip syari’ah telah dilakukan. Fenomena tersebut ditandai dengan adanya elaborasi pemikiran ekonomi yang diartikulasikan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, dan lain sebagainya. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya harmonisasi inteligensi seorang muslim terhadap perubahankegiatan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat (groulth and wealth)

Kontekstualisasi pemikiran ekonomi tersebut telah berhasil diaktualisasikan oleh kaum muslimin dengan membentuk sebuah peradaban dalam kegiatan ekonomi. Bukti sejarah mengatakan, empat abad pertama sebelum runtuhnya peradaban islam, masyarakat muslim telah mengembangkan konsep asset and financial system. Konsep yang dikembangkan antara lain: trade balance, fiscal policy, and infrastructure of monetary system. Dalam perdagangan, ssistem transaksi yag digunakan sudah mengalami perrkembangan misalnya menggunakan uang sebagai medium of exchange, menggunakan letter of credit dalam perdagangan lintas regional, dan menggunakan transfer sebagai mekanisme pembayaran.

Dalam tahap operasional, perindustrian, dan pertambangan mengalami perkembangan yang cukup besar. Pertambangan yang semula hanya terbatas pada pendulangan emas dan perak, meningkat pada penambangan tembaga, belerang, fosfat, batu bara, intan, dan mutiara. Dalam sector garmer dan tekstil, telah ditemukan industry sutera, wol, dan katun. Selain itu, telah terjadi pengembangan laboratorium kimia sebagai tempat penelitian terhadap bahan-bahan peledak serta penyadiaan perlengkapan perang. Dan telah ditemukannya konsep pembuatan kertas beserta industry yang dibutuhkan. Dalam sector pertanian, masyarakat muslim telah mampu melakuukan swasembada dalam segala jenis bahan makanan pokok. Fenomena perkembangan perekonomian tersebut menjadikan umat islam sebagai leader market (penguasa pasar) dalam perdagangan lintas regional. Iskandariyah dan Baghdad merupakan Negara penentu terhadap harga-harga barang dan jasa yang berrlaku dalam mekanisme pasar.

Dalam berbagai sector kehidupan, dunia intelektual muslim klasik juga diwarnai kemajuan. Dalam pemikiran dan keilmuan banyak ditemukan innformasi tentang keabsahan dan legalitas kegiatan ekonomi dalam kitab-kitab turats (peninggalan ulama). Dari beberapa kitab yang ada, telah dilakukan transliterasi kedalam berbagai macam bahasa asing, diantaranya bahasa Arab, Prancis, Turki, ataupun bahasa Urdu. Dengan menjamurnya kitab-kitab turats tersebut, adalah sebagai kelaziman bagi intelektual dewasa ini untuk melakukan penelitian, kajian, analisis dan kodifikasi pemikiran dan ilmu ekonomi berdasar kitab-kitab yang ada. Secara substantive, pemikiran yang ada tetap sesuai dengan konsep dasar penjelasan Al-qur’an dan Hadits yang masih bersifat global.

Sebagai bahan penelitian atas pemikiran ekonomi islam, dapat dirujuk pada kitab-kitab yang telah dikodifikasikan oleh intelektual muslim klasik. Diantara kitab tafsir dan hadits yang mungkin dapat dijadikan rujukan adalah: Tafsir Ath-Thabari, tafsir Ibnu Katsir, Tafsir fi Zhilal Al-qur’an, sayyid quthub dan Kutub As-Sittah.

Demikian juga kitab-kitab yang ditulis oleh Abu Hanifah (150 H), Imam Malik (179 H), Imam Syafi’I (204 H), dan Imam Ahmad bin Hambal (241 H) dapat dijadikan referensi. Di samping itu, ada beberapa kitab yang dapat dijadikan suplemen dalam kerangka memahami konsep ekonomi islam, yaitu:

Apa yang dituliskan oleh ulama terdahulu ternyata belum bias merecovery pertumbuhan dan perkembangan kehidupan ekonomi yang begitu dinamis. Bentuk, jenis dan mekanisme transaksi ekonomi begitu beragam. Selain itu,aplikasi, fasilitas dan politik ekonomi yang digunakan oleh masyarakat berkembang secara spektakuler. Dewasa ini, banyak sekali kita temukan realitas perkembangan mekanisme kegiatan produksi serta system transaksi yang belum dapat dijelaskan oleh intelektual muslim berdasarkan nilai-nilai syariah. Fenomena tersebut dapat kita amati melalui beberapa factor berikut ini.
  1. Minimnya kebutuhan
Tahap pertama kedatangan islam, kebutuhan masyarakat akan pemikiran dan legalitas transaksi dalam kegiatan ekonomi belum begitu menggelora. Hal tersebut disebabkan mekanisme kehidupan ekonomi yang ada masih sangat sederhana dan belum banyak terjadi perkembangan pada sector-sektor perekonomian dalam menghasilkan barang dan jasa. Keadaan tersebut didukung oleh para pelaku ekonomi yang masih kental dengan nilai ketaqwaan dan kezuhudan serta konsistensi mereka dalam menjalankan nilai-nilai syariah dalam kehidupann social (bermuamalah).
  1. Stagnasi pemikiran
Pada masa-masa awal renaissance islam, banyak melahirkan kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, dan ilmu pengetahuan tentang elaborasi pemikiran ekonomi islam. Namun dipenghujung abad ke-4 hijriah, masyarakat islam mengalami perpecahan sehingga menjadi beberapa komunitas masyarakat kecil yang beragam. Kondisi perpecahan itu berdampak yang cukup besar pada kemunduran umat islam. Terlebih dengan runtuhnya kekhalifahan yang semakin manambah kerapuhan peradaban islam. Mekanisme pemerintahan dan perekonomian yang ada setelah itu jauh dari nilai-nilai syariah. Dalam kehidupan masyarakat telah terjadi dekadensi moral, sehingga berrdampak pada turunnya semangat keagamaan yang diiringi dengan kecintaan terhadap kenikmatan dunia dan kekuasaan. Akan tetapi, distorsi kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi di masyarakat sangat mempengaruhi pemikiran para ulama, sehingga intelektualisasi yang ada tidak mampu menjawab dinamika kehidupan ekonomi. Pada akhirnya, tradisi pemikiran dan intelektualisasi dalam mengakomodasi problematika kehidupan yang ada meengalami stagnasi.
Kotornya percaturan politik yang melanda masyarakat muslim menstimulasi timbuulnya kelommpok ulama yang tidak konsisten terhadap fatwa-fatwa yang ada. Fenomena tersebut menimbulkan efek multipel, dimana kehidupan masyarakat, keyakinan, dan iktikhat yang ada dalam masyarakat menjadi sangat beragam. Tidak heran bila kemudian kita temukan perbedaan dan kontradiksi pemahaman terhadap jawaban atas permasalahan kehidupan yang terkadang tidak berdasarkan Al-qur’an dan hadits. Kondisi tersebut ddidukung oleh ijtihad para ulama yang tidak mengakomodasi kebtuhan masyarakat, atau adanya rasa takut terhadap perrpecahan masayarakat muslim akibat adanya pendapat dan ijtihad yang berbeda.
  1. Perang eksternal
Dipenghujung abad ke-4 hijriah, penyakit whan (cinta dunia dan takut mati) telah meracuni masyarakat muslim. Masyarakat muslim cenderung menggandrungi kekuasaan dan kekayaan duniawi, sehingga menyebabkan terpecahnya masyarakat islam menjadi bagian-bagian kecil komunitas masyarakat. Masing-masing komunitas terrsebut saling berselisih, berseteru, dan bermusuhan. Keadaan terrsebut merupakkan peluang emas bagi Negara asing untuk melakukan ekspansi daerah jajahan. Dengan adanya peperangan ini, mennyebabkan terjadinya kehancuran dan kerusakan seluruh infrastruktur kehidupan. Pada pertengahan abad ke-7 hijriah, masyarakat muslim mengalami penjajahan dalam segala aspek kehidupan: baik politik, social, ekonomi, budaya, dan pemikiran. Hal tersebut merupakan obstacle ( penghalang) bagi perkembangan pemikiran islam dan kehidupan ekonomi islam.
  1. Kemajuan industry Eropa dan Amerika
Perkembangan perindustrian dan teknologi di Eropa dan Amerika menstimulasi terhadap perkembangan pemahaman ekkonomi serta mekanisme dan system yang diterapkan mereka. Perkembangan terrsebut menyebabkan kemunduran perekonomian dan teknologi bagi masyarakat muslim. Perkeembangan teknologi dan perekonomian dalam masyarakat muslkim menjadi terhegemoni dengan Negara barat. Ahirnya, Negara-negara muslimmenjadi Negara dunia ke-3.
Tokoh – tokoh dan fase pemikiran ekonomi islam
Kontribusi  kaum  muslimin  yang  sangat  besar  terhadap  kelangsungan  dan perkembangan pemikiran ekonomi serta peradaban dunia pada umumnya,  telah diabaikan oleh para ilmuwan barat. Menurut chapra, meskipun sebagian  kesalahan terletak di tangan umat  Islam  karena  tidak  mengartikulasikan  secara memadai  kontribusi  kaum  muslimin, tapi barat memiliki andil dalam hal  ini, karena tidak memberikan penghargaan yang  layak atas kontribusi peradaban  lain bagi kemajuan pengetahuan manusia. Berkaitan dengan hal itu, M. Nejatullah Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam  tiga  fase, yaitu fase-fase dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi. Penjelasan fase-fase pemikiran ekonomi Islam adalah sebagai berikut : 
1. Fase Pertama  (fase abad awal – 11 masehi)
Fase  ini  dirintis  oleh  para  fuqaha,  diikuti  sufi  dan  kemudian  para  filsuf. Para tokoh pemikir Islam pada masa tersebut adalah :
a.  Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)
Zaid  bin  ali  berpandangan  bahwa  penjualan  suatu  barang  secara  kredit  dengan harga  yang  lebih  tinggi  daripada  harga  tunai merupakan  salah  satu  bentuk  transaksi yang sah dan dapat dibenarkan selama  transaksi  tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antara kedua  belah pihak. Keuntungan  yang diperoleh pedagang  yang menjual secara  kredit merupakan  sebuah  bentuk  kompensasi  atas  kemudahan  yang  diperoleh seseorang dalam membeli suatu barang tanpa harus membayar secara tunai.  Sebaliknya,  seseorang  yang menjual  secara  kredit  dapat  pula menetapkan  harga yang  lebih rendah daripada harga pembeliannya dengan maksud untuk menghabiskan stok dan memperoleh uang tunai karena khawatir harga pasar akan jatuh di masa yang akan datang.

b.  Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Pada masa hidupnya, masyarakat sekitar banyak yang melakukan transaksi salam, yaitu  menjual  barang  yang  akan  dikirimkan  kemudian  sedangkan  pembayaran dilakukan  secara  tunai  pada  waktu  akad  disepakati.  Abu  Hanifah  meragukan keabsahan  akad  tersebut  yang  dapat mengarah  kepada  perselisihan.  Ia  lalu  berusaha menghilangkan ketidakjelasan dalam akad salam dengan diharuskannya merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan  dengan  jelas di dalam  akad,  seperti jenis komoditi, kualitas, kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman.
c.  Abu Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)
Abu Yusuf  cenderung menyetujui  negara mengambil  bagian dari  hasil pertanian dari  para  penggarap  daripada  menarik  sewa  dari  lahan  pertanian.  Dalam pendangannya, cara  ini dianggap  lebih adil dan akan memberikan hasil produksi yang lebih besar. Poin  kontroversial  dalam  analisis  ekonomi  Abu  Yusuf  ialah  pada  masalah pengendalian  harga  (tas’ir).  Ia  menentang  penguasa  yang  menetapkan  harga, argumennya di dasarkan pada sunnah Rasul. Abu Yusuf menyatakan hasil panen yang melimpah  bukan  alasan  untuk menurunkan  harga  panen,  dan  sebaliknya  kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu Yusuf  ini merupakan hasil observasi.  Namun,  disisi  lain, Abu Yusuf  juga  tidak menolak  peranan  permintaan  dan penawaran dalam penentuan harga.

d.  Muhammad bin Al Hasan Al Syaibani (132-189 H/ 750-804 M)
Pandangan  Al  Syaibani  mengenai  ekenomi  cenderung  memperhatikan  perilaku ekonomi seorang muslim sebagai individu. Dalam risalahnya berjudul  al-iktisab fi arrizq al-mustahab banyak membahas mengenai pendapatan dan belanja rumah  tangga. Dia  juga membagi  jenis pekerjaan ke dalam empat hal, yaitu ijarah (sewa-menyewa), tijarah (perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shina’ah (industri) 

e.  Ibnu Miskawih (w.421 H/1030M)
Salah satu pandangannya yang  terkenal adalah mengenai pertukaran dan peranan uang. Untuk memenuhi  kebutuhan  hidupnya, manusia  harus  bekerjasama  dan  saling membantu sesamanya. Mereka akan saling mengambil dan memberi. Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu kompesansi yang pantas.

2. Fase Kedua (abad 11-15 masehi)
Para pemikir ekonomi Islam pada saat ini adalah :

a.  Al Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
Fokus utama Al Ghazali tertuju pada perilaku individual yang dibahas secara rinci dengan merujuk pada Al Qur’an, sunnah,  ijma’ sahabat dan Tabi’in, serta pandangan sufi. Menurutnya,  seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam kerangka melaksanakan  kewajiban  beribadah  kepada Allah.  Ia  juga mengemukakan bahwasanya penguasa wajib menolong rakyatnya yang mengalami kekurangan. Dalam hal pajak, Al-Ghazali bisa  menoleransi  pengenaan  pajak,  jika  pengeluaran  untuk pertahanan dan sebagainya tidak tercukupi dari kas negara yang tersedia. 

b.  Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M)
Fokus  perhatian  Ibnu  Taimiyah  terletak  pada  masyarakat,  fondasi  moral, dan bagaimana mereka harus membawakan dirinya  sesuai dengan syariah. Secara umum, pandangan-pandangan  ekonomi  Ibnu Taimiyah  cenderung  bersifat  normatif. Namun demikian, terdapat beberapa wawasan ekonominya yang dapat dikategorikan  sebagai pandangan  ekonomi  positif.  Dalam  hal  ini,  Ibnu  Taimiyah  menyadari  sepenuhnya peranan  permintaan  dan  penawaran  dalam  menentukan  harga.  Ia  juga  mencatat pengaruh  dari  pajak  tidak  langsung  dan  bagaimana  beban  pajak  tersebut  digeserkan dari  penjual  yang  seharusnya  menanggung  pajak,  kepada  pembeli  yang  harus membayar lebih mahal untuk barang-barang yang terkena pajak.

c.  Al Maqrizi (845 H/1441 M)
Al Maqrizi melakukan studi khusus  tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Menurut Al Maqrizi, kelangkaan pangan tejadi bukan hanya disebabkan secara alami oleh kegagalan panen, tapi juga disebabkan oleh hal-hal lainnya. Al Maqrizi mengidentifikasi tiga sebab dari peristiwa  ini,  yaitu  korupsi  dan  administrasi  yang  buruk,  beban  pajak  yang  berat terhadap penggarap lahan dan kenaikan pasokan mata uang fulus. 

3. Fase Ketiga (1446-1932 masehi)
Fase  ini merupakan fase tertutupnya pintu  ijtihad yang mengakibatkan fase  ini dikenal  juga  fase  stagnasi. Tokoh-tokoh pemikir  ekonomi  Islam  pada  fase  ini  antara lain diwakili oleh Shah Wali Allah (w. 1176 H), Jamaluddin Al Afghani (w. 1315 H), Muhammad Abduh (w. 1320 H), dan Muhammad Iqbal (w. 1357 H).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar