Sebagai
peta kehidupan manusia, konsep ekonomi islam sudah ada semenjak kehadiran agama
islam di atas bumi ini. Al-qur’an dan hadits kaya akan hukum-hukum dan
pengafahan kebijakan ekonomi yang harus diambil dan disesuaikan dengan
perubahan zaman serta perbedaan kawasan regional.
Dalam
konsep ekonomi islam, harus dibedakan antara konsep dasar dengan hukum-hukum
terperinci dan proses aplikasi hukum tersebut dalam konteks kehidupan ekonomi
masyarakat. Konsep dasar yang ditawarkan Al-qur’an dan Hadits merupakan wacana
global tentang kehidupan ekonomi yang berfungsi sebagai kerangka atas kebijakan
dan langkah yang ingin direalisasikan. Sebuah konsep yang mengatur gerak langkah
pelaku ekonomi dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, larangan
Allah terhadap transaksi ribawi merupakan konsep dasar dan objektif yang harus
diaplikasikan dalam setiap perubahan waktu dan kegiatan ekonomi. “…..Dan akun
halalkan jual beli dan Aku haramkan riba…” (QS. Al-Baqarah:275). Adapun hukum,
metode, mekanisme, dan alat ekonomi untuk merealisasikan konsep dasar
pelarangan riba tiddak dituliskan dalam kitab ini. Dengan alasan, banyaknya
perbedaan hasil ijtihad para ulama dalam proses aplikasi konsep tersebut untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat tanpa harus keluar dari bingkai syari’ah.
Ketika
islam datang, kegiatan ekonomi yang sedang berjalan tidaklah sekompleks seperti
dewasa ini. Kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat terfokus pada sector
perdagangan, peternakan, dan pertanian. Konsekuensinya hukum dan pemikiran
ekonomi yang ada hanya mengakomodasi current transaction, seperti konsep
pertukaran barang, penentuan harga, konsep riba, mudharabah, konsep zakat,
ataupun konsep partnership. Pada masa-masa tersebut, masyarakat belum
membutuhkan sebuah buku yang independen sebagai fungsi bahan rujukan yang
referensi untuk menghadirkan solusi atas problematika kegiatan ekonomi yang
ada. Hal terrsebut terjadi disebabkan problematika ekonomi yang ada masih
sangat sederhana dan belum menjadi kompleks. Selain itu, masyarakat masih
sangat dekat dengan kehidupan para sahabat yang mempunyai kapabilitas atas
pengetahuan terhadap konsep ajaran islam.
Seiring
dengan ekspansi dakwah islam, kawasan regional yang berada dibawah kekuasaan
islam menjadi semakin luas. Fenomena tersebut tentu akan memicu perubahan
terhadap ekonomi masyarakat. Kegiatan ekonomi yang ada mengalami perkembangan
atas jenis dan bentuk transaksi yang dilakukan. Sehingga kegiatan yang ada
semakin kompleks. Kompleksitas kegiatan ekonomi yang ada diindikasikan dengan
berdirinya lembaga –lembaga perekonomian serta mekanisme produksi dalam
menghasilkan barang dan jasa yang sangat beragam. Fenomina tersebut menuntut
para intelektual muslim untuk menulis bukutentang batasan dan aturan serta
legalitas kegiatan ekonomi berdasarkan nilai dan prinsip syari’ah. Pada abad
ke-2 Hijriah, keinginan tersebut direalisasikan oleh para intelektual muslim
dengan mengkodifikasikan beberapa persoalan ekonomi dalamm kitab fiqih, ushul
fiqh, tafsir, hadits, sejarah filsafat, dan ilmu pengetahhuan lainnya.
Pada
pertengahan abad ke-15 upaya pengembangan dan elaborasi pemikiran ekonomi
berdasarkan nilai dan prinsip syari’ah telah dilakukan. Fenomena tersebut ditandai
dengan adanya elaborasi pemikiran ekonomi yang diartikulasikan oleh para ulama
dalam kitab-kitab fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, dan lain sebagainya.
Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya harmonisasi inteligensi seorang muslim
terhadap perubahankegiatan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan
kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat (groulth and wealth)
Kontekstualisasi
pemikiran ekonomi tersebut telah berhasil diaktualisasikan oleh kaum muslimin
dengan membentuk sebuah peradaban dalam kegiatan ekonomi. Bukti sejarah
mengatakan, empat abad pertama sebelum runtuhnya peradaban islam, masyarakat
muslim telah mengembangkan konsep asset and financial system. Konsep yang
dikembangkan antara lain: trade balance, fiscal policy, and infrastructure of
monetary system. Dalam perdagangan, ssistem transaksi yag digunakan sudah
mengalami perrkembangan misalnya menggunakan uang sebagai medium of exchange,
menggunakan letter of credit dalam perdagangan lintas regional, dan menggunakan
transfer sebagai mekanisme pembayaran.
Dalam
tahap operasional, perindustrian, dan pertambangan mengalami perkembangan yang
cukup besar. Pertambangan yang semula hanya terbatas pada pendulangan emas dan
perak, meningkat pada penambangan tembaga, belerang, fosfat, batu bara, intan,
dan mutiara. Dalam sector garmer dan tekstil, telah ditemukan industry sutera,
wol, dan katun. Selain itu, telah terjadi pengembangan laboratorium kimia
sebagai tempat penelitian terhadap bahan-bahan peledak serta penyadiaan
perlengkapan perang. Dan telah ditemukannya konsep pembuatan kertas beserta
industry yang dibutuhkan. Dalam sector pertanian, masyarakat muslim telah mampu
melakuukan swasembada dalam segala jenis bahan makanan pokok. Fenomena
perkembangan perekonomian tersebut menjadikan umat islam sebagai leader market
(penguasa pasar) dalam perdagangan lintas regional. Iskandariyah dan Baghdad
merupakan Negara penentu terhadap harga-harga barang dan jasa yang berrlaku
dalam mekanisme pasar.
Dalam
berbagai sector kehidupan, dunia intelektual muslim klasik juga diwarnai
kemajuan. Dalam pemikiran dan keilmuan banyak ditemukan innformasi tentang
keabsahan dan legalitas kegiatan ekonomi dalam kitab-kitab turats (peninggalan
ulama). Dari beberapa kitab yang ada, telah dilakukan transliterasi kedalam
berbagai macam bahasa asing, diantaranya bahasa Arab, Prancis, Turki, ataupun
bahasa Urdu. Dengan menjamurnya kitab-kitab turats tersebut, adalah sebagai
kelaziman bagi intelektual dewasa ini untuk melakukan penelitian, kajian,
analisis dan kodifikasi pemikiran dan ilmu ekonomi berdasar kitab-kitab yang
ada. Secara substantive, pemikiran yang ada tetap sesuai dengan konsep dasar
penjelasan Al-qur’an dan Hadits yang masih bersifat global.
Sebagai
bahan penelitian atas pemikiran ekonomi islam, dapat dirujuk pada kitab-kitab
yang telah dikodifikasikan oleh intelektual muslim klasik. Diantara kitab
tafsir dan hadits yang mungkin dapat dijadikan rujukan adalah: Tafsir
Ath-Thabari, tafsir Ibnu Katsir, Tafsir fi Zhilal Al-qur’an, sayyid quthub dan
Kutub As-Sittah.
Demikian
juga kitab-kitab yang ditulis oleh Abu Hanifah (150 H), Imam Malik (179 H),
Imam Syafi’I (204 H), dan Imam Ahmad bin Hambal (241 H) dapat dijadikan
referensi. Di samping itu, ada beberapa kitab yang dapat dijadikan suplemen
dalam kerangka memahami konsep ekonomi islam, yaitu:
Apa yang
dituliskan oleh ulama terdahulu ternyata belum bias merecovery pertumbuhan dan
perkembangan kehidupan ekonomi yang begitu dinamis. Bentuk, jenis dan mekanisme
transaksi ekonomi begitu beragam. Selain itu,aplikasi, fasilitas dan politik
ekonomi yang digunakan oleh masyarakat berkembang secara spektakuler. Dewasa
ini, banyak sekali kita temukan realitas perkembangan mekanisme kegiatan
produksi serta system transaksi yang belum dapat dijelaskan oleh intelektual
muslim berdasarkan nilai-nilai syariah. Fenomena tersebut dapat kita amati
melalui beberapa factor berikut ini.
- Minimnya
kebutuhan
Tahap pertama kedatangan islam,
kebutuhan masyarakat akan pemikiran dan legalitas transaksi dalam kegiatan
ekonomi belum begitu menggelora. Hal tersebut disebabkan mekanisme kehidupan
ekonomi yang ada masih sangat sederhana dan belum banyak terjadi perkembangan
pada sector-sektor perekonomian dalam menghasilkan barang dan jasa. Keadaan
tersebut didukung oleh para pelaku ekonomi yang masih kental dengan nilai
ketaqwaan dan kezuhudan serta konsistensi mereka dalam menjalankan nilai-nilai
syariah dalam kehidupann social (bermuamalah).
- Stagnasi
pemikiran
Pada masa-masa awal renaissance
islam, banyak melahirkan kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, dan ilmu pengetahuan
tentang elaborasi pemikiran ekonomi islam. Namun dipenghujung abad ke-4
hijriah, masyarakat islam mengalami perpecahan sehingga menjadi beberapa
komunitas masyarakat kecil yang beragam. Kondisi perpecahan itu berdampak yang
cukup besar pada kemunduran umat islam. Terlebih dengan runtuhnya kekhalifahan
yang semakin manambah kerapuhan peradaban islam. Mekanisme pemerintahan dan
perekonomian yang ada setelah itu jauh dari nilai-nilai syariah. Dalam
kehidupan masyarakat telah terjadi dekadensi moral, sehingga berrdampak pada
turunnya semangat keagamaan yang diiringi dengan kecintaan terhadap kenikmatan
dunia dan kekuasaan. Akan tetapi, distorsi kehidupan politik dan ekonomi yang
terjadi di masyarakat sangat mempengaruhi pemikiran para ulama, sehingga intelektualisasi
yang ada tidak mampu menjawab dinamika kehidupan ekonomi. Pada akhirnya,
tradisi pemikiran dan intelektualisasi dalam mengakomodasi problematika
kehidupan yang ada meengalami stagnasi.
Kotornya percaturan politik yang
melanda masyarakat muslim menstimulasi timbuulnya kelommpok ulama yang tidak
konsisten terhadap fatwa-fatwa yang ada. Fenomena tersebut menimbulkan efek
multipel, dimana kehidupan masyarakat, keyakinan, dan iktikhat yang ada dalam
masyarakat menjadi sangat beragam. Tidak heran bila kemudian kita temukan
perbedaan dan kontradiksi pemahaman terhadap jawaban atas permasalahan
kehidupan yang terkadang tidak berdasarkan Al-qur’an dan hadits. Kondisi
tersebut ddidukung oleh ijtihad para ulama yang tidak mengakomodasi kebtuhan
masyarakat, atau adanya rasa takut terhadap perrpecahan masayarakat muslim
akibat adanya pendapat dan ijtihad yang berbeda.
- Perang
eksternal
Dipenghujung abad ke-4 hijriah,
penyakit whan (cinta dunia dan takut mati) telah meracuni masyarakat muslim.
Masyarakat muslim cenderung menggandrungi kekuasaan dan kekayaan duniawi,
sehingga menyebabkan terpecahnya masyarakat islam menjadi bagian-bagian kecil
komunitas masyarakat. Masing-masing komunitas terrsebut saling berselisih,
berseteru, dan bermusuhan. Keadaan terrsebut merupakkan peluang emas bagi
Negara asing untuk melakukan ekspansi daerah jajahan. Dengan adanya peperangan
ini, mennyebabkan terjadinya kehancuran dan kerusakan seluruh infrastruktur
kehidupan. Pada pertengahan abad ke-7 hijriah, masyarakat muslim mengalami
penjajahan dalam segala aspek kehidupan: baik politik, social, ekonomi, budaya,
dan pemikiran. Hal tersebut merupakan obstacle ( penghalang) bagi perkembangan
pemikiran islam dan kehidupan ekonomi islam.
- Kemajuan
industry Eropa dan Amerika
Perkembangan perindustrian dan
teknologi di Eropa dan Amerika menstimulasi terhadap perkembangan pemahaman
ekkonomi serta mekanisme dan system yang diterapkan mereka. Perkembangan
terrsebut menyebabkan kemunduran perekonomian dan teknologi bagi masyarakat
muslim. Perkeembangan teknologi dan perekonomian dalam masyarakat muslkim
menjadi terhegemoni dengan Negara barat. Ahirnya, Negara-negara muslimmenjadi
Negara dunia ke-3.
Tokoh
– tokoh dan fase pemikiran ekonomi islam
Kontribusi kaum
muslimin yang sangat
besar terhadap kelangsungan
dan perkembangan pemikiran ekonomi serta peradaban dunia pada
umumnya, telah diabaikan oleh para
ilmuwan barat. Menurut chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam
karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi
kaum muslimin, tapi barat
memiliki andil dalam hal ini, karena
tidak memberikan penghargaan yang layak
atas kontribusi peradaban lain bagi
kemajuan pengetahuan manusia. Berkaitan dengan hal itu, M. Nejatullah Siddiqi
menguraikan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tiga
fase, yaitu fase-fase dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase
stagnasi. Penjelasan fase-fase pemikiran ekonomi Islam adalah sebagai berikut
:
1.
Fase Pertama (fase abad awal – 11
masehi)
Fase ini
dirintis oleh para
fuqaha, diikuti sufi
dan kemudian para
filsuf. Para tokoh pemikir Islam pada masa tersebut adalah :
a.
Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)
Zaid bin
ali berpandangan bahwa
penjualan suatu barang
secara kredit dengan harga
yang lebih tinggi
daripada harga tunai merupakan salah
satu bentuk transaksi yang sah dan dapat dibenarkan
selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha
antara kedua belah pihak.
Keuntungan yang diperoleh pedagang yang menjual secara kredit merupakan sebuah
bentuk kompensasi atas
kemudahan yang diperoleh seseorang dalam membeli suatu
barang tanpa harus membayar secara tunai.
Sebaliknya, seseorang yang menjual
secara kredit dapat
pula menetapkan harga yang lebih rendah daripada harga pembeliannya
dengan maksud untuk menghabiskan stok dan memperoleh uang tunai karena khawatir
harga pasar akan jatuh di masa yang akan datang.
b.
Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Pada masa
hidupnya, masyarakat sekitar banyak yang melakukan transaksi salam, yaitu menjual
barang yang akan
dikirimkan kemudian sedangkan
pembayaran dilakukan secara tunai
pada waktu akad
disepakati. Abu Hanifah
meragukan keabsahan akad tersebut
yang dapat mengarah kepada
perselisihan. Ia lalu
berusaha menghilangkan ketidakjelasan dalam akad salam dengan
diharuskannya merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan
jelas di dalam akad, seperti jenis komoditi, kualitas, kuantitas
serta waktu dan tempat pengiriman.
c.
Abu Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)
Abu
Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian dari
hasil pertanian dari para penggarap
daripada menarik sewa
dari lahan pertanian.
Dalam pendangannya, cara ini
dianggap lebih adil dan akan memberikan
hasil produksi yang lebih besar. Poin
kontroversial dalam analisis
ekonomi Abu Yusuf
ialah pada masalah pengendalian harga
(tas’ir). Ia menentang
penguasa yang menetapkan
harga, argumennya di dasarkan pada sunnah Rasul. Abu Yusuf menyatakan
hasil panen yang melimpah bukan alasan
untuk menurunkan harga panen,
dan sebaliknya kelangkaan tidak mengakibatkan harganya
melambung. Pendapat Abu Yusuf ini
merupakan hasil observasi. Namun, disisi
lain, Abu Yusuf juga tidak menolak
peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.
d.
Muhammad bin Al Hasan Al Syaibani (132-189 H/ 750-804 M)
Pandangan Al
Syaibani mengenai ekenomi
cenderung memperhatikan perilaku ekonomi seorang muslim sebagai
individu. Dalam risalahnya berjudul
al-iktisab fi arrizq al-mustahab banyak membahas mengenai pendapatan dan
belanja rumah tangga. Dia juga membagi
jenis pekerjaan ke dalam empat hal, yaitu ijarah (sewa-menyewa), tijarah
(perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shina’ah (industri)
e.
Ibnu Miskawih (w.421 H/1030M)
Salah satu
pandangannya yang terkenal adalah
mengenai pertukaran dan peranan uang. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, manusia harus bekerjasama
dan saling membantu sesamanya.
Mereka akan saling mengambil dan memberi. Konsekuensinya, mereka akan menuntut
suatu kompesansi yang pantas.
2.
Fase Kedua (abad 11-15 masehi)
Para pemikir ekonomi Islam pada saat
ini adalah :
a.
Al Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
Fokus
utama Al Ghazali tertuju pada perilaku individual yang dibahas secara rinci
dengan merujuk pada Al Qur’an, sunnah,
ijma’ sahabat dan Tabi’in, serta pandangan sufi. Menurutnya, seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan
hidupnya dalam kerangka melaksanakan
kewajiban beribadah kepada Allah.
Ia juga mengemukakan bahwasanya
penguasa wajib menolong rakyatnya yang mengalami kekurangan. Dalam hal pajak,
Al-Ghazali bisa menoleransi pengenaan
pajak, jika pengeluaran
untuk pertahanan dan sebagainya tidak tercukupi dari kas negara yang
tersedia.
b.
Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M)
Fokus perhatian
Ibnu Taimiyah terletak
pada masyarakat, fondasi
moral, dan bagaimana mereka harus membawakan dirinya sesuai dengan syariah. Secara umum,
pandangan-pandangan ekonomi Ibnu Taimiyah
cenderung bersifat normatif. Namun demikian, terdapat beberapa
wawasan ekonominya yang dapat dikategorikan
sebagai pandangan ekonomi positif.
Dalam hal ini,
Ibnu Taimiyah menyadari
sepenuhnya peranan
permintaan dan penawaran
dalam menentukan harga.
Ia juga mencatat pengaruh dari
pajak tidak langsung
dan bagaimana beban
pajak tersebut digeserkan dari penjual
yang seharusnya menanggung
pajak, kepada pembeli
yang harus membayar lebih mahal
untuk barang-barang yang terkena pajak.
c.
Al Maqrizi (845 H/1441 M)
Al Maqrizi
melakukan studi khusus tentang uang dan
kenaikan harga-harga yang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan dan
kekeringan. Menurut Al Maqrizi, kelangkaan pangan tejadi bukan hanya disebabkan
secara alami oleh kegagalan panen, tapi juga disebabkan oleh hal-hal lainnya.
Al Maqrizi mengidentifikasi tiga sebab dari peristiwa ini,
yaitu korupsi dan
administrasi yang buruk,
beban pajak yang
berat terhadap penggarap lahan dan kenaikan pasokan mata uang
fulus.
3.
Fase Ketiga (1446-1932 masehi)
Fase ini merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad yang mengakibatkan fase ini dikenal
juga fase stagnasi. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi
Islam pada fase
ini antara lain diwakili oleh
Shah Wali Allah (w. 1176 H), Jamaluddin Al Afghani (w. 1315 H), Muhammad Abduh
(w. 1320 H), dan Muhammad Iqbal (w. 1357 H).