Translate

Jumat, 17 Mei 2013

Aksioma Dasar Ilmu Ekonomi Islam




Aksioma adalah pernyataan yg dapat diterima sbg kebenaran tanpa pembuktian.
Islam meyakini bahwa terdapat dua sumber kebenaran mutlak yang berlaku untuk setiap aspek kehidupan pada setiap ruang dan waktu, yaitu Qur’an dan Hadits. Kebenaran suci ini akan mendasari pengetahuan dan kemampuan manusia dalam proses pengambilan keputusan ekonomi.
aksioma-aksioma yang diderivasikan dari agama Islam membangun Rasionalitas ekonomi Islam secara umum. Meskipun demikian, beberapa aksioma ini merupakan kaidah yang berlaku umum dan universal.
Aksioma bersifat universal
a.       setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan maslahah.
b.      setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubaziran (non-wasting).
c.       setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk meminimumkan resiko (risk aversion).
d.      setiap pelaku ekonomi dihadapkan pada situasi ketidakpastian.
e.       setiap pelaku berusaha melengkapi informasi dalam upaya meminimumkan resiko.
Disamping aksioma-aksioma yang bersifat universal di atas, juga terdapat aksioma lain yang merupakan sesuatu yang hanya diyakini oleh orang Islam, antara lain :
1.      Adanya kehidupan setelah kematian di dunia,
2.      Kehidupan dunia merupakan media mencapai kehidupan akhirat yang abadi,
3.      Sumber informasi yang sempurna hanyalah Qur’an dan Hadits.

Dengan tambahan aksioma ini, maka pelaku ekonomi yang memiliki rasionalitas Islam menghadapi jangkauan waktu (time horizon) yang tidak terbatas. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia terdiri dari kehidupan dunia dan kehidupan kubur (kehidupan manusia setelah mati hingga menunggu hari pembalasan) dan kehidupan abadi akhirat (kehidupan kekal setelah proses pembalasan). Oleh karena itu, maslahah yang akan diterima di hari akhir merupakan fungsi dari kehidupan didunia atau maslahah didunia terkait (joint) dengan maslahah yang diterima di akhirat.
Ekonomi Islam mempelajari perilaku ekonomi agen yang rasional Islami. Oleh karena itu, standar moral suatu perilaku ekonomi didasarkan pada ajaran Islam dan bukan semata-mata didasarkan atas nilai-nilai yang dibangun oleh kesepakatan sosial. Moralitas Islam ini tidak diposisikan sebagai suatu batasan ilmu ekonomi namun justru sebagai pilar atau patokan dalam menyusun ekonomi Islam. Dan nilai-nilai Islam seperti syariah Islam berfungsi untuk memberikan informasi dan petunjuk bagaimana ekonomi Islam seharusnya diselenggarakan, serta fiqh yang dipergunakan sebagai alat kontrol terhadap produk ekonomi agar tidak melanggar syariah Islam.
Kesalahan terbesar dari metodologi yang dikembangkan selama ini dalam ilmu ekonomi adalah mengidentikkan ekonomi dengan proses yang terjadi dalam ilmu fisika. Mekanisme hubungan antar pelbagai variabel yang terbentuk dalam ilmu ekonomi dipercayai sebagai pola pasti. Anggapan tentang kepastian inilah yang telah menjebak ilmu ekonomi dalam perangkap determinisme.
Dalam berprilaku, manusia diberi kesempatan sepenuhnya oleh Allah untuk menentukan pilihan. Mereka diberi kebebasan, yang nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, untuk mengambil nilai dan aturan mana yang dipakai : apakah nilai dan aturan yang bersumber dari hukum Allah atau nilai dan aturan yang berasal dari hukum yang lain.
Misalkan manusia memilih aturan yang bukan berasal dari hukum Allah, maka perilaku manusia yang muncul jelas akan menyimpang dari hukum-hukum Allah. Dalam kondisi yang seperti ini jika metode ilmiah dan para pendukung aliran positivisme berusaha menentukan teori mana yang benar, maka dia akan dengan yakin mengatakan bahwa teori yang benar adalah teori yang tidak berdasar hukum Allah tersebut.
Melihat hal ini, Islam jelas menolak kebenaran yang disimpulkan oleh metode ilmiah tersebut. Dalam bahasa metodologi, prosedur yang ditempuh mengandung cacat yang disebabkan oleh sampel yang tidak cukup atau kegagalan sampel untuk merepresentasikan seluruh populasi yang ada. Hal ini berbeda dengan obyek ilmu fisika, yang berupa barang-barang mati, yang selalu dan secara pasti mengambil hukum Allah (Sunnatullah).
Hal tersebut juga dapat terjadi pada proses munculnya ilmu pengetahuan yang selama ini dianggap benar oleh manusia. Kebenaran positivisme dapat jadi tidak konvergen dengan hukum Allah karena tidak terpenuhinya sampel. Frekuensi kemunculan fakta yang kecil sekalipun tidak akan mampu menggugurkan kebenaran hakiki dari kandungan ilmu yang disuratkan melalui ayat-ayat kauliyah.
Dapat disimpulakan bahwa, kebenaran ilmiah dalam ekonomi Islam didasarkan atas dua hal, yaitu kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. Kebenaran mutlak hanya berasal dari wahwu-Qur’an dan Hadits serta turunannya, sedangkan kebenaran relatif bersumber dari fenomena alam semesta. Ketika kebenaran ditemukan dari wahyu maka tetap dianggap sebagai kebenaran ilmiah meskipun tidak dijumpai fakta yang cukup mendukung. Namun, kebenaran yang diperoleh dari pengamatan fakta baru dapat dikatakan sebagai kebenaran ketika tidak bertentangn dengan kebenaran wahyu. Jika kebenaran faktual ini belum didukung oleh kebenaran wahyu maka belum dapat dinggap sebagai ilmu ekonomi Islam melainkan sebagai bukti sementara dan sebatas proses untuk mendapatkan kebenaran ilmiah.

Kamis, 16 Mei 2013

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM DAN KEISTIMEWAANNYA PERKEMBANGAN DAN ELEMEN PENDUKUNG



Sebagai peta kehidupan manusia, konsep ekonomi islam sudah ada semenjak kehadiran agama islam di atas bumi ini. Al-qur’an dan hadits kaya akan hukum-hukum dan pengafahan kebijakan ekonomi yang harus diambil dan disesuaikan dengan perubahan zaman serta perbedaan kawasan regional.

Dalam konsep ekonomi islam, harus dibedakan antara konsep dasar dengan hukum-hukum terperinci dan proses aplikasi hukum tersebut dalam konteks kehidupan ekonomi masyarakat. Konsep dasar yang ditawarkan Al-qur’an dan Hadits merupakan wacana global tentang kehidupan ekonomi yang berfungsi sebagai kerangka atas kebijakan dan langkah yang ingin direalisasikan. Sebuah konsep yang mengatur gerak langkah pelaku ekonomi dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, larangan Allah terhadap transaksi ribawi merupakan konsep dasar dan objektif yang harus diaplikasikan dalam setiap perubahan waktu dan kegiatan ekonomi. “…..Dan akun halalkan jual beli dan Aku haramkan riba…” (QS. Al-Baqarah:275). Adapun hukum, metode, mekanisme, dan alat ekonomi untuk merealisasikan konsep dasar pelarangan riba tiddak dituliskan dalam kitab ini. Dengan alasan, banyaknya perbedaan hasil ijtihad para ulama dalam proses aplikasi konsep tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat tanpa harus keluar dari bingkai syari’ah.

Ketika islam datang, kegiatan ekonomi yang sedang berjalan tidaklah sekompleks seperti dewasa ini. Kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat terfokus pada sector perdagangan, peternakan, dan pertanian. Konsekuensinya hukum dan pemikiran ekonomi yang ada hanya mengakomodasi current transaction, seperti konsep pertukaran barang, penentuan harga, konsep riba, mudharabah, konsep zakat, ataupun konsep partnership. Pada masa-masa tersebut, masyarakat belum membutuhkan sebuah buku yang independen sebagai fungsi bahan rujukan yang referensi untuk menghadirkan solusi atas problematika kegiatan ekonomi yang ada. Hal terrsebut terjadi disebabkan problematika ekonomi yang ada masih sangat sederhana dan belum menjadi kompleks. Selain itu, masyarakat masih sangat dekat dengan kehidupan para sahabat yang mempunyai kapabilitas atas pengetahuan terhadap konsep ajaran islam.

Seiring dengan ekspansi dakwah islam, kawasan regional yang berada dibawah kekuasaan islam menjadi semakin luas. Fenomena tersebut tentu akan memicu perubahan terhadap ekonomi masyarakat. Kegiatan ekonomi yang ada mengalami perkembangan atas jenis dan bentuk transaksi yang dilakukan. Sehingga kegiatan yang ada semakin kompleks. Kompleksitas kegiatan ekonomi yang ada diindikasikan dengan berdirinya lembaga –lembaga perekonomian serta mekanisme produksi dalam menghasilkan barang dan jasa yang sangat beragam. Fenomina tersebut menuntut para intelektual muslim untuk menulis bukutentang batasan dan aturan serta legalitas kegiatan ekonomi berdasarkan nilai dan prinsip syari’ah. Pada abad ke-2 Hijriah, keinginan tersebut direalisasikan oleh para intelektual muslim dengan mengkodifikasikan beberapa persoalan ekonomi dalamm kitab fiqih, ushul fiqh, tafsir, hadits, sejarah filsafat, dan ilmu pengetahhuan lainnya.

Pada pertengahan abad ke-15 upaya pengembangan dan elaborasi pemikiran ekonomi berdasarkan nilai dan prinsip syari’ah telah dilakukan. Fenomena tersebut ditandai dengan adanya elaborasi pemikiran ekonomi yang diartikulasikan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, dan lain sebagainya. Langkah tersebut dilakukan sebagai upaya harmonisasi inteligensi seorang muslim terhadap perubahankegiatan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat (groulth and wealth)

Kontekstualisasi pemikiran ekonomi tersebut telah berhasil diaktualisasikan oleh kaum muslimin dengan membentuk sebuah peradaban dalam kegiatan ekonomi. Bukti sejarah mengatakan, empat abad pertama sebelum runtuhnya peradaban islam, masyarakat muslim telah mengembangkan konsep asset and financial system. Konsep yang dikembangkan antara lain: trade balance, fiscal policy, and infrastructure of monetary system. Dalam perdagangan, ssistem transaksi yag digunakan sudah mengalami perrkembangan misalnya menggunakan uang sebagai medium of exchange, menggunakan letter of credit dalam perdagangan lintas regional, dan menggunakan transfer sebagai mekanisme pembayaran.

Dalam tahap operasional, perindustrian, dan pertambangan mengalami perkembangan yang cukup besar. Pertambangan yang semula hanya terbatas pada pendulangan emas dan perak, meningkat pada penambangan tembaga, belerang, fosfat, batu bara, intan, dan mutiara. Dalam sector garmer dan tekstil, telah ditemukan industry sutera, wol, dan katun. Selain itu, telah terjadi pengembangan laboratorium kimia sebagai tempat penelitian terhadap bahan-bahan peledak serta penyadiaan perlengkapan perang. Dan telah ditemukannya konsep pembuatan kertas beserta industry yang dibutuhkan. Dalam sector pertanian, masyarakat muslim telah mampu melakuukan swasembada dalam segala jenis bahan makanan pokok. Fenomena perkembangan perekonomian tersebut menjadikan umat islam sebagai leader market (penguasa pasar) dalam perdagangan lintas regional. Iskandariyah dan Baghdad merupakan Negara penentu terhadap harga-harga barang dan jasa yang berrlaku dalam mekanisme pasar.

Dalam berbagai sector kehidupan, dunia intelektual muslim klasik juga diwarnai kemajuan. Dalam pemikiran dan keilmuan banyak ditemukan innformasi tentang keabsahan dan legalitas kegiatan ekonomi dalam kitab-kitab turats (peninggalan ulama). Dari beberapa kitab yang ada, telah dilakukan transliterasi kedalam berbagai macam bahasa asing, diantaranya bahasa Arab, Prancis, Turki, ataupun bahasa Urdu. Dengan menjamurnya kitab-kitab turats tersebut, adalah sebagai kelaziman bagi intelektual dewasa ini untuk melakukan penelitian, kajian, analisis dan kodifikasi pemikiran dan ilmu ekonomi berdasar kitab-kitab yang ada. Secara substantive, pemikiran yang ada tetap sesuai dengan konsep dasar penjelasan Al-qur’an dan Hadits yang masih bersifat global.

Sebagai bahan penelitian atas pemikiran ekonomi islam, dapat dirujuk pada kitab-kitab yang telah dikodifikasikan oleh intelektual muslim klasik. Diantara kitab tafsir dan hadits yang mungkin dapat dijadikan rujukan adalah: Tafsir Ath-Thabari, tafsir Ibnu Katsir, Tafsir fi Zhilal Al-qur’an, sayyid quthub dan Kutub As-Sittah.

Demikian juga kitab-kitab yang ditulis oleh Abu Hanifah (150 H), Imam Malik (179 H), Imam Syafi’I (204 H), dan Imam Ahmad bin Hambal (241 H) dapat dijadikan referensi. Di samping itu, ada beberapa kitab yang dapat dijadikan suplemen dalam kerangka memahami konsep ekonomi islam, yaitu:

Apa yang dituliskan oleh ulama terdahulu ternyata belum bias merecovery pertumbuhan dan perkembangan kehidupan ekonomi yang begitu dinamis. Bentuk, jenis dan mekanisme transaksi ekonomi begitu beragam. Selain itu,aplikasi, fasilitas dan politik ekonomi yang digunakan oleh masyarakat berkembang secara spektakuler. Dewasa ini, banyak sekali kita temukan realitas perkembangan mekanisme kegiatan produksi serta system transaksi yang belum dapat dijelaskan oleh intelektual muslim berdasarkan nilai-nilai syariah. Fenomena tersebut dapat kita amati melalui beberapa factor berikut ini.
  1. Minimnya kebutuhan
Tahap pertama kedatangan islam, kebutuhan masyarakat akan pemikiran dan legalitas transaksi dalam kegiatan ekonomi belum begitu menggelora. Hal tersebut disebabkan mekanisme kehidupan ekonomi yang ada masih sangat sederhana dan belum banyak terjadi perkembangan pada sector-sektor perekonomian dalam menghasilkan barang dan jasa. Keadaan tersebut didukung oleh para pelaku ekonomi yang masih kental dengan nilai ketaqwaan dan kezuhudan serta konsistensi mereka dalam menjalankan nilai-nilai syariah dalam kehidupann social (bermuamalah).
  1. Stagnasi pemikiran
Pada masa-masa awal renaissance islam, banyak melahirkan kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, dan ilmu pengetahuan tentang elaborasi pemikiran ekonomi islam. Namun dipenghujung abad ke-4 hijriah, masyarakat islam mengalami perpecahan sehingga menjadi beberapa komunitas masyarakat kecil yang beragam. Kondisi perpecahan itu berdampak yang cukup besar pada kemunduran umat islam. Terlebih dengan runtuhnya kekhalifahan yang semakin manambah kerapuhan peradaban islam. Mekanisme pemerintahan dan perekonomian yang ada setelah itu jauh dari nilai-nilai syariah. Dalam kehidupan masyarakat telah terjadi dekadensi moral, sehingga berrdampak pada turunnya semangat keagamaan yang diiringi dengan kecintaan terhadap kenikmatan dunia dan kekuasaan. Akan tetapi, distorsi kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi di masyarakat sangat mempengaruhi pemikiran para ulama, sehingga intelektualisasi yang ada tidak mampu menjawab dinamika kehidupan ekonomi. Pada akhirnya, tradisi pemikiran dan intelektualisasi dalam mengakomodasi problematika kehidupan yang ada meengalami stagnasi.
Kotornya percaturan politik yang melanda masyarakat muslim menstimulasi timbuulnya kelommpok ulama yang tidak konsisten terhadap fatwa-fatwa yang ada. Fenomena tersebut menimbulkan efek multipel, dimana kehidupan masyarakat, keyakinan, dan iktikhat yang ada dalam masyarakat menjadi sangat beragam. Tidak heran bila kemudian kita temukan perbedaan dan kontradiksi pemahaman terhadap jawaban atas permasalahan kehidupan yang terkadang tidak berdasarkan Al-qur’an dan hadits. Kondisi tersebut ddidukung oleh ijtihad para ulama yang tidak mengakomodasi kebtuhan masyarakat, atau adanya rasa takut terhadap perrpecahan masayarakat muslim akibat adanya pendapat dan ijtihad yang berbeda.
  1. Perang eksternal
Dipenghujung abad ke-4 hijriah, penyakit whan (cinta dunia dan takut mati) telah meracuni masyarakat muslim. Masyarakat muslim cenderung menggandrungi kekuasaan dan kekayaan duniawi, sehingga menyebabkan terpecahnya masyarakat islam menjadi bagian-bagian kecil komunitas masyarakat. Masing-masing komunitas terrsebut saling berselisih, berseteru, dan bermusuhan. Keadaan terrsebut merupakkan peluang emas bagi Negara asing untuk melakukan ekspansi daerah jajahan. Dengan adanya peperangan ini, mennyebabkan terjadinya kehancuran dan kerusakan seluruh infrastruktur kehidupan. Pada pertengahan abad ke-7 hijriah, masyarakat muslim mengalami penjajahan dalam segala aspek kehidupan: baik politik, social, ekonomi, budaya, dan pemikiran. Hal tersebut merupakan obstacle ( penghalang) bagi perkembangan pemikiran islam dan kehidupan ekonomi islam.
  1. Kemajuan industry Eropa dan Amerika
Perkembangan perindustrian dan teknologi di Eropa dan Amerika menstimulasi terhadap perkembangan pemahaman ekkonomi serta mekanisme dan system yang diterapkan mereka. Perkembangan terrsebut menyebabkan kemunduran perekonomian dan teknologi bagi masyarakat muslim. Perkeembangan teknologi dan perekonomian dalam masyarakat muslkim menjadi terhegemoni dengan Negara barat. Ahirnya, Negara-negara muslimmenjadi Negara dunia ke-3.
Tokoh – tokoh dan fase pemikiran ekonomi islam
Kontribusi  kaum  muslimin  yang  sangat  besar  terhadap  kelangsungan  dan perkembangan pemikiran ekonomi serta peradaban dunia pada umumnya,  telah diabaikan oleh para ilmuwan barat. Menurut chapra, meskipun sebagian  kesalahan terletak di tangan umat  Islam  karena  tidak  mengartikulasikan  secara memadai  kontribusi  kaum  muslimin, tapi barat memiliki andil dalam hal  ini, karena tidak memberikan penghargaan yang  layak atas kontribusi peradaban  lain bagi kemajuan pengetahuan manusia. Berkaitan dengan hal itu, M. Nejatullah Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam  tiga  fase, yaitu fase-fase dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi. Penjelasan fase-fase pemikiran ekonomi Islam adalah sebagai berikut : 
1. Fase Pertama  (fase abad awal – 11 masehi)
Fase  ini  dirintis  oleh  para  fuqaha,  diikuti  sufi  dan  kemudian  para  filsuf. Para tokoh pemikir Islam pada masa tersebut adalah :
a.  Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)
Zaid  bin  ali  berpandangan  bahwa  penjualan  suatu  barang  secara  kredit  dengan harga  yang  lebih  tinggi  daripada  harga  tunai merupakan  salah  satu  bentuk  transaksi yang sah dan dapat dibenarkan selama  transaksi  tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antara kedua  belah pihak. Keuntungan  yang diperoleh pedagang  yang menjual secara  kredit merupakan  sebuah  bentuk  kompensasi  atas  kemudahan  yang  diperoleh seseorang dalam membeli suatu barang tanpa harus membayar secara tunai.  Sebaliknya,  seseorang  yang menjual  secara  kredit  dapat  pula menetapkan  harga yang  lebih rendah daripada harga pembeliannya dengan maksud untuk menghabiskan stok dan memperoleh uang tunai karena khawatir harga pasar akan jatuh di masa yang akan datang.

b.  Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Pada masa hidupnya, masyarakat sekitar banyak yang melakukan transaksi salam, yaitu  menjual  barang  yang  akan  dikirimkan  kemudian  sedangkan  pembayaran dilakukan  secara  tunai  pada  waktu  akad  disepakati.  Abu  Hanifah  meragukan keabsahan  akad  tersebut  yang  dapat mengarah  kepada  perselisihan.  Ia  lalu  berusaha menghilangkan ketidakjelasan dalam akad salam dengan diharuskannya merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan  dengan  jelas di dalam  akad,  seperti jenis komoditi, kualitas, kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman.
c.  Abu Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)
Abu Yusuf  cenderung menyetujui  negara mengambil  bagian dari  hasil pertanian dari  para  penggarap  daripada  menarik  sewa  dari  lahan  pertanian.  Dalam pendangannya, cara  ini dianggap  lebih adil dan akan memberikan hasil produksi yang lebih besar. Poin  kontroversial  dalam  analisis  ekonomi  Abu  Yusuf  ialah  pada  masalah pengendalian  harga  (tas’ir).  Ia  menentang  penguasa  yang  menetapkan  harga, argumennya di dasarkan pada sunnah Rasul. Abu Yusuf menyatakan hasil panen yang melimpah  bukan  alasan  untuk menurunkan  harga  panen,  dan  sebaliknya  kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu Yusuf  ini merupakan hasil observasi.  Namun,  disisi  lain, Abu Yusuf  juga  tidak menolak  peranan  permintaan  dan penawaran dalam penentuan harga.

d.  Muhammad bin Al Hasan Al Syaibani (132-189 H/ 750-804 M)
Pandangan  Al  Syaibani  mengenai  ekenomi  cenderung  memperhatikan  perilaku ekonomi seorang muslim sebagai individu. Dalam risalahnya berjudul  al-iktisab fi arrizq al-mustahab banyak membahas mengenai pendapatan dan belanja rumah  tangga. Dia  juga membagi  jenis pekerjaan ke dalam empat hal, yaitu ijarah (sewa-menyewa), tijarah (perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shina’ah (industri) 

e.  Ibnu Miskawih (w.421 H/1030M)
Salah satu pandangannya yang  terkenal adalah mengenai pertukaran dan peranan uang. Untuk memenuhi  kebutuhan  hidupnya, manusia  harus  bekerjasama  dan  saling membantu sesamanya. Mereka akan saling mengambil dan memberi. Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu kompesansi yang pantas.

2. Fase Kedua (abad 11-15 masehi)
Para pemikir ekonomi Islam pada saat ini adalah :

a.  Al Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
Fokus utama Al Ghazali tertuju pada perilaku individual yang dibahas secara rinci dengan merujuk pada Al Qur’an, sunnah,  ijma’ sahabat dan Tabi’in, serta pandangan sufi. Menurutnya,  seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam kerangka melaksanakan  kewajiban  beribadah  kepada Allah.  Ia  juga mengemukakan bahwasanya penguasa wajib menolong rakyatnya yang mengalami kekurangan. Dalam hal pajak, Al-Ghazali bisa  menoleransi  pengenaan  pajak,  jika  pengeluaran  untuk pertahanan dan sebagainya tidak tercukupi dari kas negara yang tersedia. 

b.  Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M)
Fokus  perhatian  Ibnu  Taimiyah  terletak  pada  masyarakat,  fondasi  moral, dan bagaimana mereka harus membawakan dirinya  sesuai dengan syariah. Secara umum, pandangan-pandangan  ekonomi  Ibnu Taimiyah  cenderung  bersifat  normatif. Namun demikian, terdapat beberapa wawasan ekonominya yang dapat dikategorikan  sebagai pandangan  ekonomi  positif.  Dalam  hal  ini,  Ibnu  Taimiyah  menyadari  sepenuhnya peranan  permintaan  dan  penawaran  dalam  menentukan  harga.  Ia  juga  mencatat pengaruh  dari  pajak  tidak  langsung  dan  bagaimana  beban  pajak  tersebut  digeserkan dari  penjual  yang  seharusnya  menanggung  pajak,  kepada  pembeli  yang  harus membayar lebih mahal untuk barang-barang yang terkena pajak.

c.  Al Maqrizi (845 H/1441 M)
Al Maqrizi melakukan studi khusus  tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Menurut Al Maqrizi, kelangkaan pangan tejadi bukan hanya disebabkan secara alami oleh kegagalan panen, tapi juga disebabkan oleh hal-hal lainnya. Al Maqrizi mengidentifikasi tiga sebab dari peristiwa  ini,  yaitu  korupsi  dan  administrasi  yang  buruk,  beban  pajak  yang  berat terhadap penggarap lahan dan kenaikan pasokan mata uang fulus. 

3. Fase Ketiga (1446-1932 masehi)
Fase  ini merupakan fase tertutupnya pintu  ijtihad yang mengakibatkan fase  ini dikenal  juga  fase  stagnasi. Tokoh-tokoh pemikir  ekonomi  Islam  pada  fase  ini  antara lain diwakili oleh Shah Wali Allah (w. 1176 H), Jamaluddin Al Afghani (w. 1315 H), Muhammad Abduh (w. 1320 H), dan Muhammad Iqbal (w. 1357 H).


Rabu, 15 Mei 2013

Sepuluh Prinspi Ekonomi

Sepuluh Prinspi Ekonomi dan Contohnya
1.      Orang menghadapi tradeoff
Ketika setiap orang dihadapkan pada pertukaran (tradeoff), maka dalam membuat suatu keputusan ia harus merelakan sesuatu hal untuk suatu tujuan. Dengan demikian Tradeoff yang harus dihadapi sangatlah penting karena semua orang akan dapat mengambil keputusan terbaik jika semua pilihan yang ada dimengerti dengan baik. Tradeoff yang dihadapi masyarakat adalah effisiensi artinya masyarakat mendapatkan hasil optimal  dari sumberdaya langka yang ada. Dan pemerataan(equity) yaitu pembagian hasil yang merata dari sumberdaya langka tersebut terhadap masyarakat.
Contoh: Seorang yang lebih memilih membelikan semua uangnya untuk membeli baju, maka dia harus merelakan kesempatan untuk membeli makanan demi memeuhi kebutuhan akan gizinya. Dan saat seseorang memilih belajar, maka orang tersebut telah kehilangan kesempatan untuk mengerjakan hal lainnya seperti bermain futsal, sepeda atau jalan-jalan.
2.      Biaya adalah apa yang anda korbankan untuk mendapayka sesuatu
biaya adalah apa yang kita korbankan untuk mendapatkan sesuatu dalam ilmu ekonomi biasa disebut sebagai opportunity cost. Karena semua orang mengahadapi trade off, maka untuk mengambil keputusan kita harus membandingkan biaya dan manfaat dari setiap tindakan yang akan dilakukan.
Contoh: Seorang dosen yang lebih memilih untuk mengajar di kampus dan berhenti menjalankan usaha mie ayamnya yang selama ini digeluti.
3.      Orang Berpikir Secara Rasional
       Artinya saat seseorang menentukan keputusan atau pilihan, orang tersebut bekerja pada pikiran rasional. Seperti pada contoh, individu dan perusahaan dapat mengambil keputusan-keputusan yang lebih baik, dengan cara berpikir pada batas-batas. Seorang pengambil keputusan yang rasional akan bertindak, jika dan hanya jika, keuntungan dari tindakan tersebut melebihi biaya marginalnya.Saat menghadapi pilihan untuk melanjutkan sekolah (s2) atau mecari kerja. Yang ia pikirkan adalah apa keuntungan dari melanjutkan sekolah yaitu pengetahuan, pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan lebih bersar. Atau memilih mencari kerja dengan keuntungan yaitu lebih cepat memiliki penghasilan sendiri. Dan kerugiannya, yaitu kehilangan hal-hal dari pilihan yang ia tinggalkan.
Contoh: Pada saat makan malam kita tidak harus memutuskan untuk berpuasa atau makan serakus mungkin, namun kita harus memilih apakah kita perlu menambah sesendok nasi atau tidak.
4.      Orang Tanggap Tehadap Insentif
         Seseorang biasanya akan lebih “aktif” saat seseorang tersebut mendapatkan keuntungan tambahan dari apa yang ia kerjakan. Karena manusia mengambil keputusan dengan cara membandingkan keuntungan dan biaya, kebiasaan mereka akan berubah jika ada perubahan pada keuntungan atau biayanya.
Contoh: Ketika harga daging sapi naik, orang lebih cenderung membeli daging ayam karena harganya lebih murah. Pada saat bersamaan pengusaha daging sapi akan menjual lebih banyak daging sapi karena dapat keuntungan yang lebih tinggi.

5.      Perdagangan Menguntungkan Semua Pihak

       Pada prinsip ini yang paling ditonjolkan adalah spesialisasi, contohnya yaitu suatu Negara akan memproduksi sesuai kemampuan yang paling optimal ( biaya produksi rendah, kemampuan produksi tinggi, kualitas bagus) yang dimiliki lalu menjualnya ke Negara lain yang tidak optimal produksinya dari barang tersebut dan barang produksi yang tidak bisa dihasilkan secara optimal maka Negara tersebutpun akan membeli dari Negara lain yang produksinya lebih optimal. Perdagangan antar dua negara akan menguntungkan keduanya. Karena tidak akan lebih diuntungkan jika mengisolasikan diri dari yang lain. Perdagangan membuat semua orang berspesialisasi dalam keahlian mereka, seperti menjahit, memasak atau beternak. begitupun perdagangan antar negara.
Contoh: Negara Jepang yang mengeksport sepeda motor dan mobil buatannya ke negara Indonesia, ini akan menguntungkan kedua negara sebab Indonesia mendapatkan tekhnologi yang tidak bisa diproduksinya sendiri sedangkan Jepang mendapat penghasilan.

6.      Pasar Adalah Tempat Yang Baik Dalam Mengorganisasikan Kegiatan Ekonomi

     Dengan menggunakan jenis perekonomian pasar, keputusan-keputusan dari suatu perencanaan yang terpusat, digantikan oleh keputusan-keputusan dari jutaan perusahaan dan rumah tangga. Perusahaan memutuskan siapa yang akan dipekerjakan dan barang apa yang akan diproduksi, kemudian rumah tangga memutuskan akan bekerja di perusahaan mana dan akan membeli barang apa dari penghasilan mereka. Perusahaan dan rumah tangga saling berinteraksi di pasar, dimana harga dan kepentingan-kepentingan pribadi mempengruhi dan memandu keputusan-keputusan yang mereka buat. Ada yang harus diperhatikan dari kemampuan tangan tak tampak dalam memandu kegiatan ekonomi: Ketika pemerintah mencegah harga-harga menyesuaikan diri secara alamiah terhadap permintaan dan penawaran, kemampuan tangan tak tampak untuk mengkoordinasikan jutaan rumah tangga dan perusahaan yang menyusun perekonomian menjadi lumpuh. Hal ini menjelaskan mengapa pajak berdampak buruk pada alokasi sumber-sumber daya. Pajak merusak harga dan merusak keputusan-keputusan perusahaan dan rumah tangga. Hal ini juga menjelaskan dampak buruk berbagai akibat kebijakan yang langsung mengontrol harga.

7.      Pemerintah Kadang Mampu Meningkatkan Faktor Produksi

     Meskipun pasar adalah tempat yang baik untuk mengorganisasikan kegiatan ekonomi, pasar tidaklah sempurna. Ada dua alasan umum bagi Pemerintah untuk melakukan intervensi di bidang ekonomi : Mendukung efisiensi dan pemerataan. Artinya, kebijakan-kebijakan pemerintah bertujuan untuk memperbesar kue ekonomi atau untuk mengubah cara pembagian kue itu. Tangan tak tampak perlu pemerintah untuk melindunginya.
Contoh: Seperti dalam kasus krisis perekonomian seperti sekarang dimana banyak perusahaan yang bangkrut dan terjadi kegagalan pasar, pemerintah dapat turun tangan dan menyelamatkan perusahaan tersebut dari kebangkrutan, dan menjaga kemampuan produksi sekaligus meminimalisir angka pengangguran dengan cara melakukan buyout, atau pembelian/pengambil alihan sebuah perusahaan oleh pemerintah. Walau begitu pemerintah tidak selalu harus melakukan hal tesebut.

8.      Standar Hidup Suatu Negara Bergantung Pada Kemampuannya Menghasilkan Barang Dan Jasa
Standar hidup dapat dikaitkan dengan perbedaan produktivitas negara-negara, yaitu besarnya jumlah barang dan jasa yang dihasilkan dari satu jam kerja seorang pekerja. Di negara-negara dimana pekerja dapat menghasilkan jumlah barang dan jasa yang banyak persatuan waktu, sebagian besar masyarakatnya menikmati standar hidup  yang tinggi. Begitupun sebaliknya. begitu juga, tingkat pertumbuhan produktivitas suatau negara menentukan  tingkat pendapatan rata-ratanya. Hubungan produktivitas dan standar hidup punya dampak yang besar dan penting bagi kebijakan publik. Ketika dihadapkan pada pertanyaan bagaimana suatu kebijakan dapat mempengaruhi standar hidup, inti dari pertanyaan itu sebenarnya adalah bagaimana kebijakan tersebut mempengaruhi kemampuan kita untuk menghasilkan barang dan jasa. Untuk meningkatkan standar hidup, para pembuat kebijakan harus meningkatkan standar hidup, para pembuat kebijakan harus meningkatkan produktivitas dengan cara memastikan bahwa para pekerjanya terdidik baik, memiliki peralatan yang diperlukan untuk menghasilkan barang dan jasa, serta memiliki akses ke teknologi terbaik yang tersedia.



9.      Harga-Harga Meningkat Jika Pemerintah Mencetak Uang Terlalu Banyak

       Tingginya tingkat peredaran uang akibat dari tingginya produksi uang itu sendiri, menyebabkan nilai dari uang tersebut menjadi semakin kurang berharga yang berdampak pada terjadinya inflasi. Sehingga harga barang naik karena nilai dari uang tersebut menurun.
Contoh: Ketika BI mencetak uang terlalu banyak nilai dari Rp sendiri menurun

10.  Masyarakat Menghadapi Tradeoff jangka Pendek Antara Inflasi Dan Pengangguran

   Tradeoff antara inflasi dan pengangguran sifatnya hanyalah sementara, namun dapat berlangsung menahun. Para pembuat kebijakan dapat mengeksploitasi trade off jangka pendek antara inflasi dengan pengangguran melalui beragam instrumen kebijakan. Dengan mengubah jumlah anggaran pembelanjaan negara, jumlah nilai pajak bagi pemerintah, dan jumlah uang yang dicetak, para pembuat kebijakan dapat memengaruhi dampak kombinasi inflasi dengan pengangguran yang sedang dialami perekonomian suatu negara.  Karena instrumen-instrumen pembuat kebijakan moneter dan fiskal memiliki kekuatan potensial yang besar, maka bagaimana instrumen-instrumen pembuat kebijakan moneter dan fiskal memiliki kekuatan potensial yang besar, maka bagaimana instrumen-instrumen tersebut dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan untuk mengendalikan perekonomian selalu menjadi topik yang mengundang perdebatan.