Aksioma
adalah pernyataan yg dapat
diterima sbg kebenaran tanpa pembuktian.
Islam
meyakini bahwa terdapat dua sumber kebenaran mutlak yang berlaku untuk setiap
aspek kehidupan pada setiap ruang dan waktu, yaitu Qur’an dan Hadits. Kebenaran
suci ini akan mendasari pengetahuan dan kemampuan manusia dalam proses
pengambilan keputusan ekonomi.
aksioma-aksioma
yang diderivasikan dari agama Islam membangun Rasionalitas ekonomi Islam secara
umum. Meskipun demikian, beberapa aksioma ini merupakan kaidah yang berlaku
umum dan universal.
Aksioma
bersifat universal
a. setiap pelaku ekonomi bertujuan
untuk mendapatkan maslahah.
b. setiap pelaku ekonomi selalu
berusaha untuk tidak melakukan kemubaziran (non-wasting).
c. setiap pelaku ekonomi selalu
berusaha untuk meminimumkan resiko (risk
aversion).
d. setiap pelaku ekonomi dihadapkan
pada situasi ketidakpastian.
e. setiap pelaku berusaha melengkapi
informasi dalam upaya meminimumkan resiko.
Disamping
aksioma-aksioma yang bersifat universal di atas, juga terdapat aksioma lain
yang merupakan sesuatu yang hanya diyakini oleh orang Islam, antara lain :
1. Adanya kehidupan setelah kematian di
dunia,
2. Kehidupan dunia merupakan media
mencapai kehidupan akhirat yang abadi,
3. Sumber informasi yang sempurna
hanyalah Qur’an dan Hadits.
Dengan
tambahan aksioma ini, maka pelaku ekonomi yang memiliki rasionalitas Islam
menghadapi jangkauan waktu (time horizon)
yang tidak terbatas. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia terdiri dari
kehidupan dunia dan kehidupan kubur (kehidupan manusia setelah mati hingga
menunggu hari pembalasan) dan kehidupan abadi akhirat (kehidupan kekal setelah
proses pembalasan). Oleh karena itu, maslahah
yang akan diterima di hari akhir merupakan fungsi dari kehidupan didunia atau maslahah didunia terkait (joint) dengan maslahah yang diterima di akhirat.
Ekonomi
Islam mempelajari perilaku ekonomi agen yang rasional Islami. Oleh karena itu, standar
moral suatu perilaku ekonomi didasarkan pada ajaran Islam dan bukan semata-mata
didasarkan atas nilai-nilai yang dibangun oleh kesepakatan sosial. Moralitas
Islam ini tidak diposisikan sebagai suatu batasan ilmu ekonomi namun justru
sebagai pilar atau patokan dalam menyusun ekonomi Islam. Dan nilai-nilai Islam
seperti syariah Islam berfungsi untuk memberikan informasi dan petunjuk
bagaimana ekonomi Islam seharusnya diselenggarakan, serta fiqh yang
dipergunakan sebagai alat kontrol terhadap produk ekonomi agar tidak melanggar
syariah Islam.
Kesalahan
terbesar dari metodologi yang dikembangkan selama ini dalam ilmu ekonomi adalah
mengidentikkan ekonomi dengan proses yang terjadi dalam ilmu fisika. Mekanisme
hubungan antar pelbagai variabel yang terbentuk dalam ilmu ekonomi dipercayai
sebagai pola pasti. Anggapan tentang kepastian inilah yang telah menjebak ilmu
ekonomi dalam perangkap determinisme.
Dalam
berprilaku, manusia diberi kesempatan sepenuhnya oleh Allah untuk menentukan
pilihan. Mereka diberi kebebasan, yang nantinya akan dipertanggungjawabkan
kepada Allah, untuk mengambil nilai dan aturan mana yang dipakai : apakah nilai
dan aturan yang bersumber dari hukum Allah atau nilai dan aturan yang berasal
dari hukum yang lain.
Misalkan
manusia memilih aturan yang bukan berasal dari hukum Allah, maka perilaku
manusia yang muncul jelas akan menyimpang dari hukum-hukum Allah. Dalam kondisi
yang seperti ini jika metode ilmiah dan para pendukung aliran positivisme
berusaha menentukan teori mana yang benar, maka dia akan dengan yakin
mengatakan bahwa teori yang benar adalah teori yang tidak berdasar hukum Allah
tersebut.
Melihat
hal ini, Islam jelas menolak kebenaran yang disimpulkan oleh metode ilmiah
tersebut. Dalam bahasa metodologi, prosedur yang ditempuh mengandung cacat yang
disebabkan oleh sampel yang tidak cukup atau kegagalan sampel untuk
merepresentasikan seluruh populasi yang ada. Hal ini berbeda dengan obyek ilmu
fisika, yang berupa barang-barang mati, yang selalu dan secara pasti mengambil
hukum Allah (Sunnatullah).
Hal
tersebut juga dapat terjadi pada proses munculnya ilmu pengetahuan yang selama
ini dianggap benar oleh manusia. Kebenaran positivisme dapat jadi tidak
konvergen dengan hukum Allah karena tidak terpenuhinya sampel. Frekuensi
kemunculan fakta yang kecil sekalipun tidak akan mampu menggugurkan kebenaran
hakiki dari kandungan ilmu yang disuratkan melalui ayat-ayat kauliyah.
Dapat
disimpulakan bahwa, kebenaran ilmiah dalam ekonomi Islam didasarkan atas dua
hal, yaitu kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. Kebenaran mutlak hanya
berasal dari wahwu-Qur’an dan Hadits serta turunannya, sedangkan kebenaran
relatif bersumber dari fenomena alam semesta. Ketika kebenaran ditemukan dari
wahyu maka tetap dianggap sebagai kebenaran ilmiah meskipun tidak dijumpai
fakta yang cukup mendukung. Namun, kebenaran yang diperoleh dari pengamatan
fakta baru dapat dikatakan sebagai kebenaran ketika tidak bertentangn dengan
kebenaran wahyu. Jika kebenaran faktual ini belum didukung oleh kebenaran wahyu
maka belum dapat dinggap sebagai ilmu ekonomi Islam melainkan sebagai bukti
sementara dan sebatas proses untuk mendapatkan kebenaran ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar