Translate

Jumat, 17 Mei 2013

Aksioma Dasar Ilmu Ekonomi Islam




Aksioma adalah pernyataan yg dapat diterima sbg kebenaran tanpa pembuktian.
Islam meyakini bahwa terdapat dua sumber kebenaran mutlak yang berlaku untuk setiap aspek kehidupan pada setiap ruang dan waktu, yaitu Qur’an dan Hadits. Kebenaran suci ini akan mendasari pengetahuan dan kemampuan manusia dalam proses pengambilan keputusan ekonomi.
aksioma-aksioma yang diderivasikan dari agama Islam membangun Rasionalitas ekonomi Islam secara umum. Meskipun demikian, beberapa aksioma ini merupakan kaidah yang berlaku umum dan universal.
Aksioma bersifat universal
a.       setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan maslahah.
b.      setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubaziran (non-wasting).
c.       setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk meminimumkan resiko (risk aversion).
d.      setiap pelaku ekonomi dihadapkan pada situasi ketidakpastian.
e.       setiap pelaku berusaha melengkapi informasi dalam upaya meminimumkan resiko.
Disamping aksioma-aksioma yang bersifat universal di atas, juga terdapat aksioma lain yang merupakan sesuatu yang hanya diyakini oleh orang Islam, antara lain :
1.      Adanya kehidupan setelah kematian di dunia,
2.      Kehidupan dunia merupakan media mencapai kehidupan akhirat yang abadi,
3.      Sumber informasi yang sempurna hanyalah Qur’an dan Hadits.

Dengan tambahan aksioma ini, maka pelaku ekonomi yang memiliki rasionalitas Islam menghadapi jangkauan waktu (time horizon) yang tidak terbatas. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia terdiri dari kehidupan dunia dan kehidupan kubur (kehidupan manusia setelah mati hingga menunggu hari pembalasan) dan kehidupan abadi akhirat (kehidupan kekal setelah proses pembalasan). Oleh karena itu, maslahah yang akan diterima di hari akhir merupakan fungsi dari kehidupan didunia atau maslahah didunia terkait (joint) dengan maslahah yang diterima di akhirat.
Ekonomi Islam mempelajari perilaku ekonomi agen yang rasional Islami. Oleh karena itu, standar moral suatu perilaku ekonomi didasarkan pada ajaran Islam dan bukan semata-mata didasarkan atas nilai-nilai yang dibangun oleh kesepakatan sosial. Moralitas Islam ini tidak diposisikan sebagai suatu batasan ilmu ekonomi namun justru sebagai pilar atau patokan dalam menyusun ekonomi Islam. Dan nilai-nilai Islam seperti syariah Islam berfungsi untuk memberikan informasi dan petunjuk bagaimana ekonomi Islam seharusnya diselenggarakan, serta fiqh yang dipergunakan sebagai alat kontrol terhadap produk ekonomi agar tidak melanggar syariah Islam.
Kesalahan terbesar dari metodologi yang dikembangkan selama ini dalam ilmu ekonomi adalah mengidentikkan ekonomi dengan proses yang terjadi dalam ilmu fisika. Mekanisme hubungan antar pelbagai variabel yang terbentuk dalam ilmu ekonomi dipercayai sebagai pola pasti. Anggapan tentang kepastian inilah yang telah menjebak ilmu ekonomi dalam perangkap determinisme.
Dalam berprilaku, manusia diberi kesempatan sepenuhnya oleh Allah untuk menentukan pilihan. Mereka diberi kebebasan, yang nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, untuk mengambil nilai dan aturan mana yang dipakai : apakah nilai dan aturan yang bersumber dari hukum Allah atau nilai dan aturan yang berasal dari hukum yang lain.
Misalkan manusia memilih aturan yang bukan berasal dari hukum Allah, maka perilaku manusia yang muncul jelas akan menyimpang dari hukum-hukum Allah. Dalam kondisi yang seperti ini jika metode ilmiah dan para pendukung aliran positivisme berusaha menentukan teori mana yang benar, maka dia akan dengan yakin mengatakan bahwa teori yang benar adalah teori yang tidak berdasar hukum Allah tersebut.
Melihat hal ini, Islam jelas menolak kebenaran yang disimpulkan oleh metode ilmiah tersebut. Dalam bahasa metodologi, prosedur yang ditempuh mengandung cacat yang disebabkan oleh sampel yang tidak cukup atau kegagalan sampel untuk merepresentasikan seluruh populasi yang ada. Hal ini berbeda dengan obyek ilmu fisika, yang berupa barang-barang mati, yang selalu dan secara pasti mengambil hukum Allah (Sunnatullah).
Hal tersebut juga dapat terjadi pada proses munculnya ilmu pengetahuan yang selama ini dianggap benar oleh manusia. Kebenaran positivisme dapat jadi tidak konvergen dengan hukum Allah karena tidak terpenuhinya sampel. Frekuensi kemunculan fakta yang kecil sekalipun tidak akan mampu menggugurkan kebenaran hakiki dari kandungan ilmu yang disuratkan melalui ayat-ayat kauliyah.
Dapat disimpulakan bahwa, kebenaran ilmiah dalam ekonomi Islam didasarkan atas dua hal, yaitu kebenaran mutlak dan kebenaran relatif. Kebenaran mutlak hanya berasal dari wahwu-Qur’an dan Hadits serta turunannya, sedangkan kebenaran relatif bersumber dari fenomena alam semesta. Ketika kebenaran ditemukan dari wahyu maka tetap dianggap sebagai kebenaran ilmiah meskipun tidak dijumpai fakta yang cukup mendukung. Namun, kebenaran yang diperoleh dari pengamatan fakta baru dapat dikatakan sebagai kebenaran ketika tidak bertentangn dengan kebenaran wahyu. Jika kebenaran faktual ini belum didukung oleh kebenaran wahyu maka belum dapat dinggap sebagai ilmu ekonomi Islam melainkan sebagai bukti sementara dan sebatas proses untuk mendapatkan kebenaran ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar